Laman

Sabtu, 20 April 2013

gangguan metabolisme protein sistinosis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Metabolisme merupakan kegiatan terpenting dalam tubuh, Metabolisme terjadi pada saat menit pertama makanan masuk ke perut dan pencernaan dimulai. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas dan kelenjar tiroid membantu dalam pemecahan makanan yang dicerna menjadi zat lebih sederhana. Zat-zat sederhana diserap oleh sel-sel tubuh dan membantu dalam pelepasan energi dan melaksanakan proses lain dalam tubuh, seperti penyembuhan luka, pengaturan suhu tubuh, pembentukan sel-sel baru, membuang racun dari tubuh, dan sebagainya.
Namun ada saatnya proses metabolisme menjadi terganggu, gangguan metabolisme bisa saja terjadi karena kelainan genetik atau penyakit. Gangguan metabolisme karena kelainan genetik sangatlah langka hanya terjadi pada 1 dari sekitar 1000-2500. Bila gangguan metabolisme terjadi, maka fungsi normal tubuh juga akan terganggu dan menyebabkan masalah kesehatan.
Sistinosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh adanya ganngguan metabolisme protein/asam amino. Penyakit ini adalah yang sangat langka dan belum bisa diobati sepenuhnya. Sistinosis merupakan penyakit turunan, dimana cystine, sel – sel akan memadat karena sistin akan saling bergabung dan membentuk kristal.
sistinosis mempengaruhi sekitar 1 dalam 100.000 sampai 200.000 bayi yang baru lahir. dan hanya ada sekitar 2.000 orang yang dikenal dengan sistinosis di dunia.
Dalam makalah ini akan kita bahas secara detail tentang penyakit metabolisme protein/asam amino terutama penyebab terjadinya gangguan ini dan bagaimana penanganannya terhadap penderita gangguan ini.
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan beberapa masalah, diantaranya adalah:
1.2.1.      Apa yang dimaksud dengan sistinosin?
1.2.2.      Apa penyebab terjadinya sistinosin pada seseorang?
1.2.3.      Bagaimana cara mengidentifikasi dan menganalisis seseorang bisa mengalami sistinosis?
1.2.4.      Bagaimana cara penangan sistinosis terhadap penderitanya?

1.3.       Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.3.1.      Mengetahui pengertian dari sistinosis.
1.3.2.      Mengetahui penyebab terjadinya sistinosis pada seseorang.
1.3.3.      Mengatahui cara mengidentifikasi dan menganalisis seseorang bisa mengalami sistinosis
1.3.4.      Mengetahui cara penanganan sistinosis terhadap penderitanya.

1.4.       Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah:
1.4.1.      Memberikan informasi tentang salah satu penyakit yang diakibatkan oleh gangguan metabolisme  protein khususnya sistinosi.
1.4.2.      Memberikan tambahan referensi tentang penyebab sistinosis, diagnosis dan cara penanganannya.



BAB II

PEMBAHASAN


2.1         Pengertian Sistinosis
sistinosis adalah kelainan genetik langka yang menyebabkan akumulasi dari asam amino sistin dalam sel, membentuk kristal yang dapat membangun dan merusak sel. Kristal-kristal negatif mempengaruhi banyak sistem dalam tubuh, terutama ginjal dan mata. Sistinosis menyajikan tanda – tanda klinis dan laboratorium sindrom Fanconi dengan tambahan temuan kelainan yang spesifik yaitu akumulasi sistin dalam berbagai jaringan.
Akumulasi ini disebabkan oleh transportasi abnormal sistin dari lisosom, menghasilkan akumulasi intra-lisosomal sistin besar dalam jaringan. Melalui mekanisme yang belum diketahui, sistin lisosomal muncul untuk memperkuat dan mengubah apoptosis sedemikian rupa sehingga sel-sel mati tidak tepat, menyebabkan hilangnya sel epitel ginjal. Hal ini menyebabkan sindrom renal Fanconi, dan kerugian serupa dalam jaringan lain dapat menjelaskan perawakan pendek, retinopati, dan fitur lain dari penyakit ini.
Ada tiga jenis sistinosis masing-masing dengan gejala yang sedikit berbeda: sistinosis nephropathic, sistinosis menengah, dan sistinosi non-nephropathic atau okular. Bayi dipengaruhi oleh sistinosis nephropathic awalnya menunjukkan pertumbuhan yang buruk dan masalah ginjal tertentu (kadang-kadang disebut ginjal Fanconi sindrom). Masalah ginjal mengakibatkan hilangnya mineral penting, garam, cairan, dan nutrisi lainnya. Hilangnya nutrisi tidak hanya mengganggu pertumbuhan, tetapi dapat mengakibatkan lembut, tulang membungkuk (hypophosphatemic rickets), terutama di kaki. Ketidakseimbangan nutrisi dalam tubuh menyebabkan peningkatan urinasi, haus, dehidrasi, dan darah abnormal asam (asidosis).
Dengan sekitar usia dua tahun, kristal sistin mungkin juga hadir dalam kornea. Penumpukan kristal di mata menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap cahaya (photophobia). Tanpa pengobatan, anak-anak dengan sistinosis mungkin akan mengalami gagal ginjal lengkap sekitar usia sepuluh tahun. Tanda dan gejala lain yang mungkin terjadi pada pasien yang tidak diobati termasuk kerusakan otot, kebutaan, ketidakmampuan untuk menelan, diabetes, dan tiroid dan masalah sistem saraf.
Tanda-tanda dan gejala sistinosis menengah adalah sama seperti sistinosis nephropathic, tetapi mereka terjadi pada usia lanjut. Menengah sistinosis biasanya dimulai untuk mempengaruhi individu sekitar usia yang empat tahun. Ginjal rusak dan kristal kornea adalah fitur awal utama dari gangguan ini. Jika sistinosis menengah tidak diobati, gagal ginjal lengkap akan terjadi, tetapi biasanya tidak sampai akhir remaja pertengahan dua puluhan.
Orang dengan sistinosis non-nephropathic atau mata tidak biasanya mengalami penurunan pertumbuhan atau kerusakan ginjal. Gejala hanya fotofobia karena kristal sistin di kornea.
Gambar 1. Penumpukan kristal sistin
 pada kornea mata


2.2         Penyebab Sistinosin
Peningkatan ambilan sistin selular mengakibatkan timbunan di dalam lisosom, dimana sistin ini tidak dapat dipertahankan dalam bentuk tereduksi. Sistin ini juga menampakkan bahwa ada kegagalan dalam pelepasan asam amino ini dari lisosom. Defek enzim tertentu belum teridentifikasi. Kadar sistin dalam jaringan tidak berkolerasi dengan derajat disfungsi tubulus ginjal; karenanya, pengaruh toksin sistin sederhana pada tubulus bukan merupakan penyebab sindrom Fanconi pada sistinosis.
Gambar 2. Sistin dalam lisosom

Sistin ditimbun dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam limpa, hati, limfonodi, dan sumsum tulang, tetapi tidak dalam otot atau otak. Peninmbunan terjadi di dalam sel tubulus ginjal, kornea dan konjungtiva. Sistin juga berakumulasi di dalam leukosit darah perifer dan fibroblas. Perubahan ginjal awal mirip dengan perubahan yang terjadi pada sindrom Fanconi primer; lesi “leher angsa” khas terdiri dari atrofi dan pemendekan tubulus proksimal tepat di bawah glomelurus. Kristal sistin refraktif ganda dapat ditemukan dalam jaringan intertsisial dan jarang dalam sel tubulus; kristal ini kadang – kadang hanya dapat dikenali dalam mikroskopi elektron. Pada gagal ginjal yang lanjut, ginjal menjadi mengkerut dan kontraksi, dengan sklerosis glomelurus dan fibrosis interstisial.
sistinosis terjadi karena mutasi dalam gen CTNS, terletak pada kromosom 17, yang kode untuk cystinosin, transporter sistin lisosomal. Gejala pertama kali terlihat di sekitar 3 sampai usia 18 bulan dengan poliuria mendalam (buang air kecil yang berlebihan), diikuti oleh pertumbuhan yang buruk, fotofobia, dan akhirnya gagal ginjal pada usia 6 tahun dalam bentuk nephropathic.
Gambar 3. Mutasi dalam gen CTNS


Sistinosis diwariskan sebagai ciri autosom – resesif. Ada tiga gambaran klinis pada sistinosis masa kanak – kanak. Penderita dengan bentuk infantil atau nefropati datang dengan sindrom Fanconi pada umur 3 – 12 bulan. Aminoasiduria menyeluruh ditemukan tanpa dominasi sistin. Kecepatan filtrasi glomerulus menurun secara progresif, dan gagal ginjal kronis berkembang dalam dekade pertama. Kegagalan pertumbuhan dan hipotiroidisme berat menyertai keadaan ini. Gambaran klinis khas meliputi rambut pirang dan ciri umum yang cerah, karena defek pada sintesis melanin, dan fotofobia akibat timbunan kristal sistin pada konjungtiva. Bentuk remaja atau antara ditandai oleh keterlibatan ginjal ringan mulai pada dekade ke – 2 dan progresivitas yang lambat.  Kegagalan pertumbuhan bukan merupakan tanda bentuk ini. Sistinosis tipe dewasa (jinak) tidak menyebabkan penyakit ginjal. Kristal sistin dapat ditemukan di dalam kornea , sumsum tulang dan leukosit.
Semua bentuk sistinosis (nephropathic, remaja dan okular) yang resesif autosomal, yang berarti bahwa sifat itu terletak pada gen autosomal, dan seorang individu yang mewarisi dua salinan gen - satu dari kedua orang tua - akan mengalami gangguan tersebut. Ada resiko 25% memiliki anak dengan gangguan tersebut, ketika kedua orang tua adalah pembawa sifat yang resesif autosomal.
Sistinosis mempengaruhi sekitar 1 dalam 100.000 sampai 200.000 bayi yang baru lahir. dan hanya ada sekitar 2.000 orang yang dikenal dengan sistinosis di dunia. Insiden lebih tinggi di provinsi Brittany, Perancis, di-mana gangguan mempengaruhi 1 dari 26.000 orang.
2.3         Diagnosis sistinosis
Pada bayi baru lahir yang tidak bergejala dari keluarga yang terkena, diagnosis sistinosis nefropati dapat dibuat dengan mengukur kandungan sistin leukosit atau fibroblas, yang mungkin 80 – 100 kali normal. Kemudian, dapat ditemukan ketidakteraturan granula dan lingkaran dalam pigmentasi perifer retina. Kristal sistin dapat diditeksi  dalam sumsum tulang, limfonodi, konjungtiva, dan mukosa rektum. Pemeriksaan lampu celah menunujukkan kristal dalam kornea. Diagnosis prenatal dapat dibuat dengan menemukan kenaikan kadar sistin dalam sel cairan amnion. Sistinosis harus tidak dirancukan dengan sistinuria. Yang merupakan kelainan bawaan pengangkutan asam amino tertentu, tanpa timbunan sistin atau sindrom Fanconi.
2.4         Pengobatan Sistinosis
sistinosis biasanya diobati dengan obat yang disebut sisteamin. Pemberian sisteamin dapat mengurangi kadar sistin intraseluler. sisteamine berkonsentrasi dalam lisosom dan bereaksi dengan sistin untuk membentuk dua sistein dan kompleks sistein-sisteamin, yang mampu meninggalkan lisosom.
Bila diberikan secara teratur, sisteamin menurunkan jumlah sistin yang disimpan dalam lisosom dan berkorelasi dengan konservasi fungsi ginjal dan pertumbuhan ditingkatkan.
sisteamin, pengikat sulfhidril, telah terbukti menurunkan sistin intraseluler  in vivo dan melambatkan kecepatan penjelekan gagal ginjal  (glomerulus) pada beberapa anak, terutama jika dimulai sebelum usia 2 tahun. Ini dapat juga melemahkan tetapi tidak dapat menghilangkan beberapa tanda sindrom Fanconi. Sisteamin rasanya pahit dan telah diganti dengan fosfosisteamin, yang telah dapat diterima oleh anak.
Untuk penderita dengan gagal ginjal stadium akhir, hemodialisis dan transplantasi ginjal dianjurkan. Hemodialisis tidak menurunkan kadar sistin jaringan. Anak dengan sistiosis setelah transplantasi tampak beraktivitas dengan baik sebagaimana mereka yang dengan gagal ginjal kronis bentuk lain, tetapi orang yang bertahan hidup jangka lama mungkin mengalami fotofobia atau retinopati progresif, tetes mata sisteamin dapat sangat membantu. Transplatasi telah menaikkan ketahanan hidup tetapi telah disertai dengan manifestasi ekstrarenal jangka panjang, seperti disfungsi penelanan, miopati, insufisiensiensi endokrin dan eksokrin pankreas, dan berbagai masalah sistem saraf sentral (misalnya: kejang, atrofi serebri).











BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.         sistinosis adalah kelainan genetik langka yang menyebabkan akumulasi dari asam amino sistin dalam sel, membentuk kristal yang dapat membangun dan merusak sel.
2.        sistinosis terjadi karena mutasi dalam gen CTNS, terletak pada kromosom 17, yang kode untuk cystinosin, transporter sistin lisosomal. Gejala pertama kali terlihat di sekitar 3 sampai usia 18 bulan dengan poliuria mendalam (buang air kecil yang berlebihan), diikuti oleh pertumbuhan yang buruk, fotofobia, dan akhirnya gagal ginjal pada usia 6 tahun dalam bentuk nephropathic.
3.        Diagnosis sistinosis nefropati dapat dibuat dengan mengukur kandungan sistin leukosit, penditeksian  dalam sumsum tulang, limfonodi, konjungtiva, dan mukosa rektum, Pemeriksaan lampu celah menunujukkan kristal dalam kornea dan diagnosis prenatal dapat dibuat dengan menemukan kenaikan kadar sistin dalam sel cairan amnion.
4.        Sistinosis biasanya diobati dengan obat yang disebut sisteamin yang mampu berkonsentrasi dalam lisosom dan bereaksi dengan sistin untuk membentuk dua sistein dan kompleks sistein-sisteamin, yang mampu meninggalkan lisosom.
3.2         Saran
1.      Sebaiknya perlu menambahan referensi lagi agar dapat memahami lebih jelas mengenai penyakit metabolisme protein sistinosis ini.
2.      Menambahkan data statistik tentang jumlah penderita penyakit langka ini.
9
 
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, Behrman, Kliegman. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Vol. 1 Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gahl WA: Cystinosis coming of age. Adv Pediatr 33:95, 1986
http://doktersehat.com/apa-itu-sistinosis-cysitinosis/ . Diakses hari Minggu 17 Maret 2013.
http://www.news-medical.net/health/Cystinosis-Diagnosis.aspx . Diakses hari Jum’at tanggal 22 Maret 2013
http://www.news-medical.net/health/Cystinosis-Genetics.aspx . Diakses hari Jum’at tanggal 22 Maret 2013
http://www.news-medical.net/health/Cystinosis-Treatment.aspx . Diakses hari Jum’at tanggal 22 Maret 2013
Markello TC, Bernadini ME, Gahl WA: Improved renal function in children with cytinosis treated with cysteamine. N Engl J Med 328: 1157, 1993.